Tanya Jawab saya ini merupakan program Bapak Prof. Jimly dalam membuka komunikasi bagi kalangan masyarakat luas dalam rangka menumbuhkan minat pembelajaran terhadap hukum tata negara umum maupun positif di Indonesia melalui blog pribadi beliau http://jimly.com

Andi Zulfadhli Al-Ghiffary (andizulfadhli74@gmail.com)
(Sabtu, 28 September 2013 / 03:52:53)
Pertanyaan :
Ass. Prof. Jimly, sy mau tanya. Dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 jo. PP No. 59 Tahun 2010 ttg Penyelenggaraan Jasa Kontruksi,disebutkan Psl 1 ayat 3 bahwa "Pemilihan langsung adalah pengadaan jasa konstruksi tanpa melalui pelelangan umum atau pelelangan terbatas, yang dilakukan dengan membandingkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) penawar dari penyedia jasa dan dapat dilakukan negosiasi, baik dari segi teknis maupun harga, sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan, sementara dalam Perpres No. 54 tahun 2010 jo. Perpres No. 70 ttg Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada pasal 37 ayat 4 menyatakan bahwa "Dalam Pengadaan sederhana atau pemilihan langsung tidak ada negosiasi teknis dan harga". yg sy ingin pertanyakan prof. krn dalam kedua produk hukum ini nampak bertentangan antara PP dan Perpres. PP membolehkan adanya "negosiasi harga dan teknis" sementara didalam Perpres No.70/2012 tidak dibolehkan.`pertanyaannya; 1) Dalam hal aturan bertentangan aturan yang mana yang harus diikuti PP atau Perpres? 2) Apakah kita harus mengikuti menurut khirarki hk dan perundang2an sbgaiman tertuang dlm UU No. 12 tahun 2011? Lalu, 3) Apakah dlm ilmu hukum HTN Indonesia ada juga seperti dalam usul fikhi Hk Islam ada istilah Nasikh dan mansukh (hukum menghapus dan dihapus). mohon penjelasannya prof. sebelumnya sy haturkan terima kasih. Wassalam
Jawaban :
Ya, nasikh dan mansukh itu sama dg prinsip derogasi, "lex specialis derogat lex generali" (hukum yg lebih khusus menegasikan hukum yg lebih umum) dan "lex postereore derogat lex priore" (hukum yg belakangan menegasikan hukum yg duluan). Selain itu prinsip yg juga harus diberlakukan adalah "lex superiore derogat lex inferiore" (hukum yg lebih tinggi menegasikan yg lebih rendah).

Andi Zulfadhli Al-Ghiffary (andizulfadhli74@gmail.com)
(Jum'at, 13 September 2013 / 16:47:22)
Pertanyaan :
Ass. Prof. Jimly, sy mau tanya. 1) Setelah ditetapkannya UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di psl 7 ayat 1 tdk dicantumkan Ketetapan MPR-RI, apakah dgn tdk dicantumkannya maka semua ketetapan MPR-RI dan MPRS-RI dgn sendirinya dinyatakan tdk berlaku lagi atau dicabut, atau msh tetap berlaku? 2) kalau misalnya tdk berlaku lagi lalu bagaimana dgn Ketetapan MPRS-RI No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, apakah dgn sendirinya tercabut dan dapat berdiri lagi? 3) Kemudian ditetapkan kembali berlaku Ketetapan MPR-RI dlm UU No 12 Tahun 2011 yang mengatur hal yg sama pada pasal 7 nya, apakah Ketetapan MPR-RI hanya dinyatakan berlaku yang di tetapkan sejak setelah tanggal ditetapkannya UU No. 12 Tahun 2011 ini? mohon penjelasnya Prof, Terima kasih Wassalam.
Jawaban :
(1) Coba sdr baca TAP MPR No.1/MPR/2003, disitu sdr akan tahu status2 TAP MPR/S sejak tahun 1960 s/d tahun 2002. (2) UU No.10/2004 sekarang sudah diubah oleh UU No. 12/2011, yg kembali menempatkan TAP MPR/S sisa di atas UU dan di bawah UUD. (3) Baca juga buku saya Perihal UU.

Andi Zulfadhli Al-Ghiffary (andizulfadhli@gmail.com)
(Rabu, 09 Oktober 2013 / 15:27:22)
Pertanyaan :
Assalamu alaikum prof. Jimly. Sy mau bertanya lagi prof. Terkait peryataan bpk Presiden SBY di tv bahwa akan mengeluarkan perpu berkaitan dgn kasus ketua MK bpk AM yg sdh dijadikan tersangka oleh KPK. Sy teramat bingung prof, sbgi rakyat yg tinggal di Pedesaan di kab. Bantaeng sul-sel tentu langsung membaca UUD '45 pada Psl. 22 ayat (1) sdh nampak bhw pres berhak menetapkan Perpu ttpi dlm hal kegentingan yg memaksa. Dgn melihat paktanya penylggaran negara berproses dgn baik, proses peradilan di MK menurut wkl ketua HS berproses dgn baik. Pertanyaan sy prof. 1) Dimana alasan kira2 yg dpt diterima oleh akal sehat adanya hal ihwal kegentingan yg memaksanya. 2) lalu sejauh mana mislnya klu jd perpu dikeluarkan dpt mengikat dan memperbaiki lembaga setingkat dengan lembaga kepresidenan?
Jawaban :
Saya sudah sering sampaikan pendapat saya yg tidak setuju dibuatnya Perpu tsb, tapi kewenangan ada pada Presiden, yg tentu kalau pemerintah sdh yakin harus buat Perpu, ya sudah, kita kan hanya memberi masukan. Urusan selanjutnya terserah saja kpd Presiden.


Andi Zulfadhli Al-Ghiffary (andizulfadhli74@gmail.com)
(Jum'at, 13 Desember 2013 / 19:15:12)
Pertanyaan :
Assalamu Alaikum Wr. Wb. Prof. Jimly. Sy mohon maaf sebelumnya prof. karena ini bukanlah pertanyaan yang penting dijawab, tetapi usulan mudah2an bpk prof. berkenan. 1) Perkembangan HTN Indonesia pasca reformasi telah mengubah banyak hal ttg sistem ketatanegaraan kita, akibatnya byk buku-2 para pakar HTN dan HAN yg sblumnya dianggap top menjadi kadaluarsa. 2) Munculnya UU yg baru dan Perubahan peraturan per-UU-an kita pun ikut memberikan sumbangsi byknya buku-2 yg tdk lagi up to date. 3) Ada keraguan bagi kami ketika ada mahasiswa yg menulis karya ilmiah mereka belum mampu mengecek apakah apa yg dia temukan dibuku itu diketahui msh berlaku atau sdh tdk berlaku lagi. Oleh krn itu, sy punya usul prof. agar buku-2 baik HTN maupun HAN yg tdk dpt diterbitkan lagi krn tdk up to date dan pengarangnya tdk ingin merevisinya lagi, supaya diminta kpd pemiliknya untuk ditulis ulang atas nama pengarangnya yang pertama, namun dgn penambahan materi-2 yg sekarang lagi berkembang seperti penulisan ulang buku "Dasar2 Ilmu Politik" karya Prof. Miriam Budiardjo terbit edisi revisi thn 2010. dgn cara penulisan jurnal yg berjilid-2 utk memudahkan bagi kami membeli bahan standar leteratur HTN dan HAN, juga mungkin mengurangi kutip mengutip yg terlalu byk sana sini utk mempertebal buku2nya shga kmi membaca berulang2 dlm bhn yg sama. Semoga bpk Prof. berkenan memikirkan hal ini. Wassalam
Jawaban :
Bagus sekali idenya, bahkan buku saya sajapun sebagian juga sudah ketinggalan, karena sesudah buku terbit banyak lagi UU baru yg mengubah norma di UU yg lama. Inilah akibat sistem politik kita belum stabil. UU Pemilu saja setiap 5 tahun berubah total. Karena itu, ide sdr berlaku bukan saja utk penulis yg sudah meninggal tapi juga penting utk yg masih hidup


Andi Zulfadhli Al-Ghiffary (andizulfadhli74@gmail.com)
(Rabu, 18 Desember 2013 / 05:06:43)
Pertanyaan :
Assalamu Alaikum Wr. Wb. Bapak Prof. Jimly. mohon maaf prof. sy ingin bertanya lagi. Dengan berlakunya UU No. 12 Tahun 2011 ttg Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang mana pada pasal 7 ayat 1 UU tersebut menyatakan berlakunya kembali Tap MPR RI yg mendudukan pada posisi kedua, itu berarti Pasal 2 TAP MPR RI No. III/MPR/2000 berlaku kembali Prof. yang sy tanyakan apakah dalam hal ini kita harus menganut asas hukum Lex Superior Derogat Legi Inferior yang notabene berbeda susunan hierarki hukumnya antara pasal 7 ayat 1 UU No. 12 Tahun 2011 dengan TAP MPR itu.
Jawaban :
Tidak. TAP MPR No. III/2000 sudah tidak berlaku lagi sejak berlakunya UU No.10/2004. UU 12/2011 lain lagi, dia hanya mengatur status TAP MPR yg tersisa, tetapi ngawur dan bertentangan dg ketentuan TAP No.1/MPR/2003 yg sudah menentukan bahwa TAP MPR itu setara statusnya dg UU. Itu sebabnya TAP MPR bisa diubah dg UU, yaitu UU No.10 Tahun 2004 secara sah menyebabkan materi TAP MPR III/2000 itu tidak berlaku lagi.

Andi Zulfadhli Al-Ghiffary (andizulfadhli74@gmail.com)
(Kamis, 19 Desember 2013 / 19:19:36)
Pertanyaan :
Assalamu Alaikum Wr. Wb. Bapak Prof. Jimly, sebelumnya sy ucapkan terima kasih yg tak terhingga jawabanx atas pertanyaan kami sebelumnya. Sy mau bertanya lagi Prof. Berkaitan dgn BAB VIIB (Pemilihan Umum) pasal 22E yg terdiri dari 6 ayat UUD 1945, yg mana didalamnya mengatur ttg pemilihan umum terhadap DPR, DPD, Presiden dan Wapres dan seterusnya yg pd ayat 6 dipertegas bahwa ketentuan lbh lanjut ttg pemilihan umum diatur dgn UU. Tetapi yg membuat sy bingung adalah keberadaan Partai Politik pd ayat 3 dan keberadaan komisi pemilihan umum pada ayat 5 Psl 22E UUD ini, tdk dipertegas bhw pembentukan Partai Politik diatur lbh ljt dgn UU, Juga pembentukan KPU yg dlm UUD pakai huruf kecil semua yg berarti bukan namanya yg jg tdk ditegaskan bahwa pembentukan KPU diatur lbh lanjut dgn UU. Kalau dinyatakan bhwa sdh disbtkan dlam ayat 6 maka pertanyaanx kemudian metode penafsiran model apa yg digunakan sprt yg bpk tulis dlm bukum PIH Tata Negara jld 1 sehingga beberapa hal yg terdapat pd pasal 22E ini dirangkumnya pembentukan dlm ayat 6, yakni membentuk UU bermacam-macam bentuk dlam satu perintah, sy cuma menduka bahwa dasar pembentukan UU ttg Parpol, KPU tdk didasarkan perintah UUD 1945 bgmana tanggapan Prof. Wassalamu Alaikum.
Jawaban :
Semua ketentuan tsb sudah didasarkan atas perintah UUD, cuma saja kadang2 ada saja yg secara sadara atau tidak, sengaja ataupun tidak, ataupun karena perkembangan waktu ternyata menyimpang dari maksud yg sebenarnya dari UUD, makanya disediakan mekanisme utk menguji konstitusionalitasnya ke MK.

Andi Zulfadhli Al-Ghiffary (andizulfadhli74@gmail.com)
(Minggu, 22 Desember 2013 / 16:19:10)
Pertanyaan :
Assalamu Alaikum Wr. wb. Bapak Prof. Jimly, Maaf sy mengirim pertanyaan lagi prof. Dalam Pasal 10 UUD 1945 bahwa "Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara". Juga dinyatakan tugas2 dlm Pasal 30 ayat 2 dan 3, serta tugas Kepolisian Negara RI pada ayat 4, yg ingin sy tanyakan Prof. 1) Siapakah sebenarnya pemegang kekuasaan tertinggi bagi Kepolisian Negara menurut UUD 1945? 2) Kenapa pd pasal 30 ayat 4 UUD 1945 diantara tgsnya adalah "menegakkan hukum" kalimatnya umum padahal kita sama tahu bahwa kewenangan kepolisian dlm penegakan hukum hanya berkaitan dgn hukum pidana tidak masuk kerana hukum militer, hukum tata usaha negara, mungkin juga hukum perdata, tolong prof. memberikan metode tafsirx dlm memahami kalimat seperti itu?
Jawaban :
(1) Kepolisian tyetap berada di bawah presiden tetapi, kedudukannya sbg penegak hukum bersifat independen; (2) Kepolisian menegakkan hukum pada umumnya, termasuk juga kalau urusan hukum perdata sudah selesai di pengadilan, lalau utk memastikan eksekusinya yg terhambat, maka polisi juga wajib bertindak utk tegaknya hukum, meskipun perdata. Bahkan, jika keadilan tidak dilaksanakan, bisa saja berdampak timbulnya konflik dan tindak pidana baru yg harus dicegah oleh polisi dg memastikan bahwa hukum perdata benar2 tegak.